KESEIMBANGAN HATI DAN PIKIRAN DALAM MENGAMBIL KEBIJAKAN


Fenomena di masyarakat yang detaknya tidak pernah berhenti dan kebijakan yang dilahirkan pemerintah perlu perhatian dari berbagai arah, sebagai syarat untuk keseimbangan tatanan sosial.

Sebuah afirmasi yang dilahirkan oleh para pendahulu masih berlaku, salah satunya orang Sunda memiliki 'Cacandran' dan itu masih hidup hingga era sekarang ini, contohnya seperti 'Bandung Heurin ku Tangtung'.

Kota Tasikmalaya "Tasik Kota Resik" yang identitas masyarakatnya kental dengan religiusitas, bahkan Kota Tasikmalaya memiliki perda Tata Nilai, yang mana nilai jarang dijadikan peraturan daerah di kota-kota lain, namun di sini, nilai yang tidak memiliki jirim itu menjadi bagian dari peraturan yang paten. Keprok!

Hari ini, pemerintah Kota Tasikmalaya sedang gemar mempercantik wajah kota, dengan membangun ruang-ruang publik baru, walaupun sebagian terkesan memaksakan dan tanpa pengkajian dahulu yang matang. Terbaru, ada alun-alun Dadaha yang tak kunjung diresmikan, dan lorong Katasik yang justru ngebut pembuatannya.

Lantas apakah nilai itu sudah tercermin dalam keseharian masyarakatnya, terutama di ruang-ruang publik? Urusan parkir misal, sebab bagi Kota Tasikmalaya lahan dan regulasi parkir itu sangat krusial, apalagi saat ini parkir seperti jerawat di wajah kota.

Di mana ada ruang publik di situ ada parkir, "Pas datang euweuh, lagu balik geus aya tukangeun." sebuah anekdot tentang parkir yang kadang pula menimbulkan rasa jengkel. Tapi itu tidak berarti apa-apa.

Mengenai parkir, ada yang harus menjadi perbincangan yakni tentang regulasi. Di Kota Tasikmalaya sendiri, utamanya di jantung kota, lahan parkir belum tertata dengan baik, parkir liar masih ada di tiap sudut.

Pendapatan Asli Daerah dari retribusi parkir di Kota Tasikmalaya juga tahun kemarin gagal target, dari target 2 Miliar hanya masuk 1,6 Miliar.

*

Demikian takarir saya untuk undangan menjadi pembicara dalam diskusi publik bertema 'Tata Kelola Parkir di Kota Tasikmalaya' yang digelar oleh kawan-kawan Komunitas Langgam Pustaka Indonesia minggu lalu.

Bersama Kepala UPTD, Pak Uen Haeruman saya menjadi pembicara dalam diskusi yang berlangsung kurang lebih dua jam tersebut. Saya memaparkan bagaimana kegelisahan pribadi mengenai urusan parkir di Kota Tasikmalaya. Selain banyak parkir-parkir liar, saya juga mengomentari urusan parkir di pedestrian Cihideung yang mana tempat itu sendiri lari jauh dari konsep awal.

Rambu larangan parkir sudah dipasang sejak awal, namun lambat laun tetap dipakai juga. Sempat ada ketegasan dari UPTD dan Satpol PP dengan mengangkut motor yang terparkir di sana, namun nampaknya itu hanya sekedar pemenuhan tugas saja. Tidak berlangsung lama. Padahal jelas-jelas yang namanya pedestrian itu khusus untuk pejalan kaki, alih-alih ini digunakan untuk lalu-lalang kendaraan dan tempat parkir.

Selain itu saya juga menyoroti perihal juru parkir yang jumlahnya 400 orang, menurut data yang saya dapat, jumlah itu tidak bertambah dari tahun 2012 silam padahal untuk saat ini jumlah tersebut tidak sebanding dengan kondisi di lapangan, bertambahnya volume kendaraan dan lahan-lahan parkir misal, jelas agak mengherankan. Hal tersebut berkaitan dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari retribusi parkir ini, yang mana tahun 2023 menurut saya sangat buruk.

Mulanya, retribusi itu ditargetkan di angka 3,6 Miliar namun terjadi penurunan menjadi 2 Miliar dan tetap saja target itu tidak tercapai. UPTD Parkir hanya mampu mengumpulkan sebesar 1,6 miliar atau 60 persen saja. Hal itu tentu mengherankan. Pak Uen sendiri mengatakan faktor dari gagalnya target itu karena ketidaksanggupan juru parkir dan berkurangnya setoran yang masuk. Ketika kita kalkulasi secara sederhana saja, angka itu masih sangat diragukan.

Jika jumlah juru parkir ada 400 orang dan uang yang terkumpul hanya 1,6 Miliar, jika dibagi 12 bulan maka hasilnya 133 Juta. Rp 133 juta dibagi 400 juru parkir maka hasilnya Rp 332.500, artinya setiap jukir hanya setor Rp 332.500 ke UPTD Parkir dalam sebulan. Hal tersebut dikatakan mengherankan karena berdasarkan temuan di lapangan beberapa jukir ada yang mengaku setoran ke UPTD dalam sebulan bisa mencapai 2 Juta.

Dalam diskusi itu, Pak Uen mengatakan selain permasalahan setoran, hal lain yang menjadi faktor gagalnya target tersebut karena dunia parkir itu penuh dengan banyak kepentingan. Karena di lapanhan, para jukir, merasa sebagai pemilik kawasan, belum lagi berurusan dengan berbagai ormas. Namun saya kira, justru dalam hal demikian UPTD harus mampu mengambil sikap tegas, termasuk jika kendalanya benar demikian maka harus ada regulasi baru yang lebih transparan dan terarah.

Saya juga sempat menyinggung mengenai wacana Pemkot Tasikmalaya menyerahkan parkir kepada pihak ketiga. Namun yang saya tangkap Pak Uen tidak begitu menyambut baik rencana tersebut, beliau menganggap akan banyak problem dan diematika yang lahir nantinya. Misal saja, kata beliau, karena pihak ketiga itu profesional, jika juru parkir gagal memenuhi target setoran maka akan langsung dipecat yang nantinya juru parkir tersebut tidak punya pekerjaan lagi, beliau menganggap hal tersebut menjadi permasalahan baru nantinya.

Namun menurut hemat saya, justru sikap demikianlah yang harus diterapkan, maka nantinya bisa terbukti apakah benar kegagalan target itu disebabkan karena jumlah pendapatan atau karena memang ada faktor lain, yang bisa jadi di tubuh UPTD Parkir sendiri.

Pak Uen mengatakan, pihaknya selama ini dalam mengkoordinir para juru parkir ini dengan pendekatan yang humanis. Hal itu ia realisasikan dengan melakukan apel setiap pagi dan menitipkan kepada juru parkir untuk selalu mengedepankan pelayanan kepada masyarakat, misal saja dengan senyum, sapa, salam. Karena menurutnya, juru parkir yang di masyarakat dikenal (sebagian) garang, dengan demikian bisa memperbaiki citranya. Selain itu Pak Uen bilang bahwa juru parkir itu seperti 'préman nu dibajuan' (preman yang dipakaikan baju).

Menurut saya, sangat bagus jika UPTD melakukan pendekatan yang humanis kepada para juru parkir, namun bukan berarti dalam ranah yang berhubungan dengan retribusi juga seolah lembek, ketika target gagal begitu saja tanpa ada evaluasi. Intinya, saya berharap UPTD Parkir harus membenahi regulasi. Dalam hal ini, DPRD punya kewenangan untuk mempertanyakan kegagalan target tersebut, panggil UPTD Parkir dan mintai penjelasan. Mengingat Pemkot Tasikmalaya saat ini sedang senang melakukan pembangunan ruang publik yang mana ini harus dibarengi dengan OPD-OPD yang berkualitas. Cag!

Posting Komentar

0 Komentar