Tidak berlebihan rasanya menggunakan kata 'konyol' ketika melihat prilaku beberapa pimpinan pendidikan berbasis agama saat ini. Dalam hal ini menyangkut tindak asusila, pencabulan, rudakpaksa, atau apapun namanya yang dilakukan mereka. Bukan satu dua kali hal semacam ini terjadi, di Indonesia hal ini sedang sangat masif, teranyar di kotaku tercintah Tasikmalaya.
Entah apa yang ada di pikirannya, padahal agama mereka sendiri sudah memberi keleluasaan dengan diperbolehkannya poligami, merebut sebagian hak batiniah perempuan (buat saya), dan buat mereka, pologami itu ibadah yang enak. Namun nampaknya ibadah itu tidak mampu membendung gejolak sahwatnya yang mengerikan.
Saya tidak terlalu peduli lagi dengan julukan Tasikmalaya sebagai kota santri, buat saya tidak lebih julukan itu hanya etalase berdebu. Sebab pada realitanya, mereka sendiri yang merusak marwah itu. Kejadiannya nyata, bukti konkretnya ada, namun sayang, orang-orang intelektual dan berpendidikan kadang-kadang tidak berani bersuara, lantaran takut dibenci, takut sanksi sosial, takut kehilangan relasi.
Seorang jurnalis dari kota lain pernah melakukan investigasi mengenai kebobrokan orang-orang yang bersembunyi di balik agama di Tasikmalaya, sebut saja oknum. Dia mewawancarai warung remang-remang yang menjual minuman beralkohol dan gegedug tempat prostitusi di salah satu lokasi. Dia mengaku tercengang dengan kenyataan bahwa, rutinitas razia yang mereka lakukan masih sebatas kedok, setelah itu mereka membeli kedua jenis barang yang dianggapnya haram itu. Namun tidak ada kabar lagi apakah hasil investigasi itu sudah ada atau belum.
Pertanyaannya, apakah jangan-jangan hal semacam ini sudah dinormalisasi di lingkungannya sendiri? Lalu bagaimanakah jika masih banyak kasus serupa di lingkungan pendidikan agama yang belum terungkap? Lantaran korban mendapat tekanan, ancaman, atau takut untuk buka suara.
Teranyar, terjadi kasus pencabulan terhadap santriwati oleh pimpinan Rumah Tahfidz di Kecamatan Mangkubumi, Kota Tasikmalaya. Inisalnya AR, panggilannya Ustadz Ruslan. Menurut beberapa sumber, kepalanya digulung sorban dan sering berjubah. Kegiatannya selain memimpin Rumah Tahfidz itu juga kerap melakukan razia dan unjuk rasa ihwal bela keagamaan. Kini dia sudah dibekuk jajaran Polres Tasikmalaya Kota.
Kembali pada kekonyolan lain, Kota Tasikmalaya punya Peraturan Daerah (Perda) Tata Nilai, yang mana isi perda tersebut mengharuskan masyarakat Kota Tasikmalaya hidup religius. Dalam konteks religius ini saya sepakat, karena religius bukan agama melainkan prilaku. Tapi konyolnya lagi, yang melabrak nilai-nilai religius itu adalah mereka yang paling lantang beragama. Padahal ketang agama téh sanyatana mah prilaku.
Lalu apakah Perda Tata Nilai ini masih relevan dan akan terus dipaksakan relevan? Karena selain banyak yang memanfaatkan Perda ini untuk kepentingan suatu kelompok, Perda ini juga dianggap merugikan. Misalnya, menghambat investor, dan membatasi ruang-ruang kreativitas terutama yang berhubungan dengan kegiatan besar seperti event. Atau setidaknya, perlu ada sebuah formulasi baru terkait Perda itu? Silakan renungi.
Kembali pada peristiwa pencabulan itu, mari kita kawal proses hukumnya, jangan ada toleransi apapun ketika berbicara hukum. Pikirkan pula nasib psikologis korban dan orangtuanya. Pikirkan pula wajah kota kita tercinta, kota yang dicap paling religius, Tasikmalaya. Ayo dong, para aktivis, intelektualis, tokoh masyarakat, jangan hanya bungkam, ayo bersuara. Wajar kalo kita salah, bukan Nabi boy!

0 Komentar